11/08/13

Tangisan Ibu dan Kepemimpinan wanita

Selama saya hidup, dari kecil sehingga janggut menutupi jakun, saya tidak pernah melihat ayah saya menangis. Tapi lain halnya dengan Ibu, beberapa kali saya melihatnya menitikkan air mata. Dari tangisan-tangisan ibu tersebut ada yang begitu berkesan bagi saya yaitu tangisannya pada hari itu dan hari ini.

Hari itu, hari dimana saya masuk pesantren untuk pertama kalinya. Ketika akan berpisah dan meninggalkan saya di pesantren, air mata ibu membasahi bumi pesantren.

"hati hati ya nak" ujar Ibu terisak.

saya terharu. saya kira Ibu senang jika saya di pesantren, saya kira ibu senang jika saya tidak di rumah mengingat saya tidak pernah absen dari pukulan sapu dan cubitan ibu. Tapi ternyata ibu khawatir dan sedih meninggalkan saya. Ayah saya seperti biasa hanya memberikan wejangan dan ucapan selamat tinggal tanpa air mata sedikitpun muncul.

Yang selanjutnya adalah air mata ibu pada hari ini, hari dimana saya resmi melepas masa bujangan. Selepas akad saya mencium tangan ayah serta pipinya dan diakhiri ciuman di dahi. Seperti biasa ayah hanya mendoakan tidak diembeli dengan tangisan. Berbeda halnya dengan ibu, hal yang sama saya lakukan terhadap ibu dari cium tangan sampai dahi, saya lupa apa yang dikatakan ibu yg jelas matanya berkaca kaca ucapanya terbata-bata tak bisa menahan haru.

Begitulah wanita hatinya begitu lembut, perasaan mereka begitu halus. Tapi kalau boleh jujur jangan-jangan ini salah satu hikmah kenapa wanita tidak diperkenankan untuk memimpin suatu kaum: rasa mereka lebih dominan daripada rasio. Sedangkan pemimpin mesti selaras antara rasio dan rasanya.

Selamat Idul Fitri,  Taqobbalallah minna wa minkum,

Mohon doa restu

Makassar, 11-08-2013

0 komentar:

Posting Komentar