17/10/13

13 dan Nasib 'Aqidah

Banyak teman  pesantren yang mengira saya anggota Pramuka Wihdah 13. Alasannya sepele: Nomor punggung saya di tim basket pesantren bernomor 13. Tidak salah memang, mengingat banyak kawan-kawan dari tim basket yang memakai nomor punggung sesuai dengan  nomor urut wihdah mereka. Mungkin disebabkan kecintaan -dengan tidak menyebutnya fanatik- yang begitu mendalam terhadap wihdah mereka. 

 "Wihdah," begitu kami menyebut regu pramuka di Pesantren. Entahlah, ada berapa wihdah pastinya, mungkin sekitar 10. Uniknya nomor masing-masing wihdah terdiri dari angka ganjil, dimulai dari wihdah 1, lalu wihdah 3, kemudian wihdah 5 dan begitu seterusnya. 

Tak hanya itu, nama-nama wihdah pun tidak kalah uniknya. Berbeda dengan regu pramuka yang pada umumnya  memakai nama-nama hewan layaknya naga, kelinci, macan dan sebagainya, di pesantren kami wihdah atawa regu dinamai dengan nama-nama para Sahabat  Nabi -Ridwanullah 'alaihim-. Wihdah 13 misalkan, wihdah ini bernama Bilal bin Rabah. Sedangkan  wihdah saya sendiri adalah wihdah lima. Saya lupa namanya, kalau tidak salah: 'Utsman bin 'Affan. 

Dengan demikian keliru yang menganggap wihdah saya adalah 13. Toh, kalaupun wihdah saya adalah 13 tidaklah hal itu menjadi alasan saya memilih 13 sebagai nomor punggung.Lantas kalau bukan karena wihdah, kenapa memakai no 13?.

Nomor ini pertama kali saya dapatkan ketika duduk di bangku SMA yang cuma empat bulan saya duduki sebelum masuk ke dunia pesantren. Kala itu turnamen basket antar SMA di kota Pontianak mendekati tanggal mainnya. Tak ayal para pemain memilih nomor punggung yang nantinya akan di daftarkan ke panitia turnamen. Saya terlambat masuk menjadi pemain yang akan bertanding. Walhasil, semua sudah memilih nomor. Tidak ada pilihan bagi saya kecuali menerima nomor yang tersisa. Saya lupa berapa yang tersisa saat itu, satu ataukah dua nomor, yang jelas saya akhirnya resmi menjadi pemain nomor 13.

13! ya tiga belas. Saya enjoy memakai nomor tersebut, nomor yang akhirnya selalu saya piih dimanapun saya bermain. Entah kenapa tidak ada pemain dalam tim yang memilih nomor itu. " Angka Sial"  itukah jawabannya? Saya tidak tahu jawaban pastinya, namun apa masih ada di abad ini yang hidup layaknya kehidupan para tokoh cerita rakyat atawa fabel? yang menggantungkan nasibnya pada angka?

"Takhayul", "syirik", mungkin itu yang akan keluar dari lisan orang yang berakal dan beragama. Namun pernahkah kita berpikir, jika ada di antara sekian banyak manusia yang mempunyai pengalaman buruk dengan angka tiga belas? 

Ketika bermain menggunakan nomor 13 selalu kalah dan sial, sewaktu memakai nomor lain meraih kemenangan yang gilang gemilang dan ketika kembali memakai angka 13 kalah kembali.

Atau orang yang ketika mendapat kamar hotel bernomor 13 selalu terjadi pengalaman buruk di kamar tersebut, sedangkan ketika menginap di kamar dengan nomor berbeda tidak terjadi sesuatu.
dan pengalaman buruk lainnya dengan si-tiga belas, pernahkah kita berpikir? 

Masihkah takhayyul, syirik dan ucapan senada terucap dari lisan mereka? atau lisan mereka diam, namun alam bawah sadar mereka berkata," jangan-jangan memang angka sial!"

Disitulah ujian dari Allah 'azza wa jalla terhadap umatnya, sampai dimanakah keimanan mereka terhadap Allah sebagai tuhan yang memberi manfaat dan bahaya. Apakah akan teguh dengan iman ataukah goyah?

Lihatlah betapa banyak orang yang tertipu dengan dukun. Hanya karena apa yang dikatakan dukun selama belasan kali benar. Lihatlah betapa banyak orang yang tertipu dengan area pekuburan. Ketika berdoa di masjid hujan tak kunjung datang namun ketika berdoa di sisi makam hujan turun dengan derasnya, jadilah berdoa di sisi makam lebih utama daripada di masjid menurutnya. 

Bagaimana dengan saya? anda ? dan keluarga kita? akankah kita tertipu?

Ada kisah yang cukup heroik berkaitan dengan hal ini yang pernah di ceritakan oleh Syaikh Su'ud al- Jarbu'i ketika beliau mengajar kitab 'aqidah Thohawiyah. Di tengah-tengah pelajaran, sang Syaikh menceritakan kisah seorang juru da'wah di sebuah negara, yang mencoba meruntuhkan sebuah mitos yang santer di daerah tersebut. Akan saya ceritakan kisah tersebut dengan bahasa sendiri tentunya. 

"Siapa saja yang melakukan perjalanan jauh di hari sabtu akan celaka," begitu orang setempat berkeyakinan. Sang da'i akhirnya memutuskan berangkat di hari sabtu, demi membuktikan kebohongan keyakinan aneh tersebut.

Ia pun berangkat dengan segala keimanan di dada. Orang-orang menanti kabar apa yang akan terjadi. Hasilnya.... sebagaimana yang sudah ditebak: ia terjatuh, ya,  terjatuh dari kendaraannya.

"Nah! Guwa bilang juga apa," mungkin itu yang akan terucap setelah mendengar peristiwa naas bagi sang dai tersebut. Namun sang da'i tidaklah gentar. Malahan melontarkan perkataan yang seharusnya di catat dalam sejarah: " baik, saya akan berobat sekarang, nanti setelah sembuh saya akan kembali melakukan perjalanan di hari Sabtu!"

Dia benar-benar melakukannya untuk kedua kalinya. Berhasilkah? ... tidak!! ia kembali jatuh. ya, iya jatuh bersama kendaraannya namun tidak dengan imannya. Ia masih gigih untuk melakukan perjalanan di hari sabtu mendatang setelah mendapat kesembuhan. 

Kali ini kali yang ketiga. Akankah dia berhasil? ataukah orang-orang desa yang berhasil mempengaruhi keyakinannya? Sang da'i meluncur dengan kendaraannya, entahlah apa yang saya rasakan jika saya di posisi seperti itu, ini kali ketiga bung!. Dan benar...... iya kembali terjatuh! . Entah kitab dan guru macam apa yang mempengaruhi hidupnya, yang jelas ia akan mencoba kembali...yang keempat kalinya!

Saya hanya termenung mendengar kisah sang Syaikh. Saya berpikir, bagaimana jika saya berada di posisi itu. Akankah saya tetap teguh dengan prinsip? ataukah setelah gagal untuk yang kesekian kalinya saya akan membatin, "jangan - jangan memang hari sial!"

Terjatuh, gagal, tersungkur, bangkit lagi gagal lagi, dan terjatuh. Dia terjatuh di kali keempat, begitu pula setelahnya enam, tujuh, delapan entah berapa kali. Selesaikah? tidak! "Badai pasti berlalu" dan "Habis gelap terbitlah terang," akhirnya cahaya itu pun datang. Di kali yang ketigabelas atau keempat belas -saya lupa- sang da'i berhasil menyusuri perjalanan tanpa terjadi musibah yang menimpanya. Begitu pula perjalanan-perjalanan berikutnya di hari "naas" tersebut, tidak terjadi apa- apa. 

Setelah beberapa kali perjalanan yang tidak menimbulkan musibah, sedikit-sedikit keyakinan konyol tersebut mulai runtuh dari diri orang-orang desa. Hati mereka mulai terbuka dan akal mereka mulai tergerak. Sweet victory, kemenangan yang gilang-gemilang. 

Kyai saya di pesantren juga pernah melakukan hal  yang serupa. saya mendengar dari guru yang mengajar. Pada suatu saat pak Kyai pernah mengencingi keris agar orang-orang tahu bahwa tidak ada kemanfaatan atau bahaya di dalamnya. Entahlah benar atau tidak, namun di era 20- an di daerah seperti ponorogo, nampaknya hal tersebut memang dibutuhkan.

well, mungkin kita harus berpikir kembali tentang hal-hal yang mungkin dianggap sebagai keberuntungan atau pembawa sial.

Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi 'ala dinik , La ilaaha Illa Allah 
Wahai yang membolak - balik kan hati, mantapkanlah hati ini diatas agamamu



0 komentar:

Posting Komentar